Blog Uluh Ngaju dalam Berbagi Mencapai Manfaat

lazada.co.id
pasang iklan baris gratisBanner 125x125Peluang usaha modal kecil

JANCOK dan TERORIS

Jancok & Teroris
Kurang lebih satu minggu tidak menulis, banyak fenomena aneh terjadi mulai dari hal yang kecil hingga hal-hal yang besar, sehingga terpikir oleh saya untuk menulis judul postingan nyeleneh yaitu Jancok dan Teroris.
Kata JANCOK yang berubah-ubah menjadi dancok, jiancok, jamput, diamput, ancrit, ancok, ancuk dan bermacam-macam lagi kata yang diolah dari satu kata tersebut. Apabila digabung dengan kata lain yang membentuk sebuah kalimat, seperti mbae ancok raimu, ndase ancok dan sebagainya. Kata yang sebenarnya tidak mengandung arti dalam kebahasaan masyarakat Jawa telah berubah menjadi gambaran bagi yang mengungkapkan/menyebut kata tersebut, sehingga dengan karakter manusia yang selalu kurang itulah kata JANCOK dianggap masih kurang memuaskan maka timbul kata tambahan yaitu mbahe ancok. Sederhana sebenarnya kata Jancok, namun memberikan makna negatif bagi siapa saja yang mengatakan kata itu. Memang ada segelintir orang yang menjadikan kata jancok sebagai simbol keakraban, seperti ungkapan pertanyaan “teko endi cok? ” dan “wek e sopo iki cok?” ada juga yang menjadikan simbol kemarahan atau ungkapan kemarahan, misalkan “jancok raimu ga ngerti yo?”. Dapat disimpulkan bahwa kata Jancok adalah hanya sebuah kata yang tidak memiliki arti, hanya saja kata tersebut akan memiliki makna tersendiri dikala seseorang mengungkapkan sesuatu dengan kondisi tertentu seperti marah, sebagai ungkapan persahabatan atau juga pengganti nama panggilan.
Karena saking maraknya orang-orang menggunakan kata Jancok, ada beberapa penulis yang menulis bahwa kata Jancok berawal dari kata encuk (berhubungan seks) dan ada juga yang mengatakan bahwa Jancok berarti bangsat, bagaimana nama binatang seperti Jangkrik juga dimaknai bangsat, mana yang benar? biarlah mereka berteori namun pada faktanya kata tersebut benar-benar tidak memiliki arti.
Bagaimana kaitan kata Jancok dan teroris? Memang secara tertulis tidak ada kaitannya, namun dari makna dan kejadian bahwa sesuatu yang pada awalnya hanyalah hal yang biasa hingga menjadi hal yang sangat luar biasa. Kata Jancok yang pada awalnya hanyalah kata tanpa adanya arti, karena kondisi dan sesuatu hal tertentu maka kata tersebut memiliki makna yang luar biasa. Begitu juga dengan teroris, bagi pelaku teroris dalam hal ini di Indonesia adalah sikap seorang pejuang untuk mencapai kesempurnaan ibadah yaitu syahid, namun dari pandangan lain bahwa sikap mereka adalah kejahatan dengan berbagai fakta dan alasan.
Jancok adalah satu kata memiliki dua makna, yaitu makna negatif karena sebagai ungkapan marah sehingga menjadi hal yang kotor (bahasa Jawa: misoh). Kata Jancok memiliki makna positif dikala kata tersebut sebagai pengganti nama panggilan untuk menjalin keakraban dalam bergaul. Begitu juga dengan teroris, sikap mereka seperti bom bunuh diri atau pengeboman suatu tempat tertentu sebagai upaya perjuangan di jalan Allah sehingga perbuatan tersebut mereka anggap sebagai hal yang positif walaupun merugikan orang lain. Namun tidak semua orang yang menilai perbuatan tersebut adalah hal yang positif, tapi sebaliknya atau hal yang sangat negatif karena perbuatan yang mereka lakukan kepada golongan tertentu tidak pada tempatnya, dalam artian pembunuihan dan pengeboman yang seharusnya terjadi di medan pertempuran, tapi pengeboman yang mereka lakukan pada tempat yang suasananya damai, tentram dan tidak adanya permusuhan atau bukan medan pertempuran.
Pandangan dan sikap memiliki makna tersendiri, sehingga menimbulkan penilaian yang bermacam, sesuatu yang pada awalnya tidak memiliki arti apapun akan berubah menjadi suatu hal yang luar biasa dikala pandangan dan sikap mengarahkan sesuatu tersebut kepada hal yang memberikan arti tertentu. Maka, berhati-hatilah dalam bersikap, karena sikap kita belum tentu baik menurut orang lain dan setiap orang memiliki perbedaan dalam memandang/menilai sesuatu.





Kejadian Itu Faktor Sebelumnya

Setiap kondisi lahir karena kondisi sebelumnya, itulah kalimat
Setiap kondisi lahir karena kondisi sebelumnya, itulah kalimat yang sesuai dengan permasalahan yang terjadi di Indonesia saat ini. Memang permasalahan setiap saat terjadi kepada siapa saja, permasalahan hadir dalam kehidupan seseorang tidak memandang derajat ataupun kualitas seseorang dihadapan masyarakat, permasalahan ada karena ada permasalahan yang ada sebelumnya. Adakah masalah itu tidak karena sesuatu sebelumnya? Jawabnya, tidak ada.

Pada umumnya hal itu disebut hukum sebab akibat, sedangkan yang demikian juga di Indonesia banyak orang mengatakan itu karma, menurut saya itu hukum sebab akibat ataupun karma sama saja, tapi dalam Islam itu disebut sunnatullah. Dalam al-Qur’an sudah ditegaskan oleh Luqman kepada anaknya, yang kurang lebih artinya demikian: "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui". Ayat diatas menegaskan bahwa, perbuatan baik ataupun buruk sekecil apapun bentuknya maka akan melahirkan atau menyebabkan sesuatu yang terjadi sesudahnya dengan kata lain ada balasannya.
Apabila dikaitkan dengan permasalahan yang terjadi di Indonesia baru-baru ini, maka permasalahan tersebut lahir dari masalah sebelumnya. Bom yang terjadi di Mega Kuningan Jakarta pada dua hotel terkenal adalah akibat sesuatu yang terjadi sebelumnya, bagi pelaku karena ada sesuatu yang terjadi sebelumnya pada diri pelaku atau “bosnya”. Bagi hotel yang terkena ledakan, adalah teguran atas kebebasan yang ada didalamnya, karena menurut beberapa penuturan orang-orang yang pernah menginap dihotel itu, bahwa pelayanan kedua hotel tersebut memenuhi standart internasional, bagi pendatang (yang menginap) ditawarkan berbagai pelayanan plus lahir dan batin, saya yakin pembaca tahu maksud pelayanan plus lahir dan batin. Walaupun banyak anggapan bahwa hotel tersebut adalah imbas kebencian kepada suatu golongan, tapi pikiran pelaku atau bosnya memang terarah kesitu akibat ada daya tarik sesuatu yang terjadi sebelumnya oleh hotel itu, dengan bahasa umumnya adalah jodoh.
Kalaupun memang pikiran pelaku tidak terjadi atas daya tarik sesuatu yang terjadi sebelumnya dihotel, ada tempat yang layak pakai untuk mengacaukan Indonesia, bagi pelaku bisa saja melakukan pengeboman ditempat ibadah-ibadah umat beragama atau dipasar-pasar. Apabila memang targetnya adalah warga asing, kenapa tidak dikawasan wisata saja, padahal kawasan wisata tidak terlalu ketat penjagaannya, tidak ada CCTV dan pemeriksaan berstandar. Memang banyak anggapan terhadap siapa pelaku pengeboman tersebut, ada yang mengatakan bahwa pelakunya adalah teroris internasional, imbas perpolitikan yang perang urat syaraf, dan lain sebagainya. Namun pada intinya adalah faktor sesuatu sebelumnya.
Bagaimanapun alasan pengeboman itu, tetap saja salah besar. Karena itu adalah tindakan anak kecil yang dilakukan orang besar, sebenarnya pelaku harus berkaca tentang bagaimana kalau itu terjadi padanya atau komunitas yang dipimpinnya. Atas kejadian itu, indonesia menangis lagi, walaupun hanya dua tempat yang terkena bom tapi imbasnya terasa seluruh Indonesia. Mulai faktor ekonomi dengan dolar merambah naik sampai kepada kebijakan luar negeri yang memberikan sinyal siaga kepada warganya yang berkunjung ke Indonesia dan berefek kepada kepariwisataan Indonesia. Kerugiaan secara langsung pun terjadi kepada pembatalan kunjungan Manchester United untuk bertandang ke Indonesia, sehingga juga berimbas kepada layanan masyarakat seperti media elektronik yang mengalami kerugian sampai milyaran rupiah.
Melalui tulisan ini, hamba yang fakir yakin bahwa pelaku yang ada dibalik pengeboman itu akan terungkap dan tertangkap hidup-hidup, insya Allah.





Posisi Sangat Menentukan

Posisi sangat penting bagi setiap orang, beberapa waktu yang la
Posisi sangat penting bagi setiap orang, beberapa waktu yang lalu para politikus berkompetisi untuk mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan, mulai posisi sebagai legislator dan sebagai presiden Indonesia. Berbagai cara untuk mendapatkan posisi yang strategis tersebut, bagi para peserta ujian biasanya menjadikan posisi adalah bagian dari prestasi, tapi bagi orang-orang yang bertanggungjawab posisi penting adalah amanah dari Allah, kenapa demikian? Karena, apapun yang dilakukan manusia di muka bumi ini apalagi berhubungan dengan orang banyak akan dipertanggunggungjawabkan dalam kekuasan Allah.
Posisi didepan adalah posisi yang lebih bertanggungjawab dan berat menurut saya, karena banyak resiko yang ditanggung oleh siapapun yang bertempat diposisi depan, semisal posisi Imam sholat, walaupun ratusan hingga jutaan makmum serta posisi masjid atau tempat ibadah tersebut berlantai dua sampai tiga pun Imam Sholat posisinya tetap didepan dan dibawah, padahal apabila Imam melakukan kesalahan maka ia akan menanggung kesalahan dari puluhan, ratusan hingga ribuan makmumnya kepada yang Maha disembah. Sopir kendaraan seperti mobil atau bus, walaupun bus berlantai dua, sopir tetap didepan dan dibawah begitu juga dengan posisi pilot, apabila terjadi kesalahaan atau kecelakaan maka yang akan mempertanggungjawabkan semuanya adalah sopir atau pilot walaupun kejadian tersebut diluar faktor kesengajaan mereka, padahal pada umumnya apabila terjadi kecelakaan yang dulu mengakhiri hidupnya adalah yang didepan.
Memang berat apabila kita berada diposisi penting khususnya didepan, karena setiap gerak, pikiran, dan perasaan yang dijadikan sarana untuk menghasilkan keputusan memiliki pertanggungjawaban kepada setiap makhluk bahkan kepada sang Maha Bijak. Tapi, banyak orang yang memandang bahwa posisi penting adalah peluang untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan seperti harta, tahta dan wanita bahkan lebih dari itu. Sehingga mereka yang menjadikan amanah (posisi penting) sebagai peluang dalam mendapatkan sejuta harapan, berusaha mendapatkan posisi penting tersebut dengan bermacam cara, tidak peduli cara yang dilakukan merugikan orang lain yang penting posisi penting bisa dia dapatkan.
Islam sangat mulia menyikapi posisi penting, dalam agama Islam semua mendapatkan perlakuan sama. Perintah dan larangan dalam agama Islam berlaku kepada seluruh penganutnya, tidak memandang keturunan ataupun jabatan pelaksananya. Dalam Islam memang ada keringanan atau rukhsoh, namun bukan bagi orang yang memiliki posisi penting tapi bagi yang sulit melaksanakannya akibat kekurangan dan bukan kelebihan. Dalam hukum negara Indonesia, keringanan hukum bagi pemilik posisi penting tidak tertulis dalam Undang-Undang Dasar tapi ada pelaksanaannya, begitu juga dalam budaya masyarakat kita.
Pernahkah anda mendengar dan melihat anggota kepolisian mengikuti sidang pelanggaran lalu lintas di wilayah tugasnya, sedangkan dia tidak memenuhi standart pengendara di kawasan tertib lalu lintas? Selama hidup penulis belum pernah mendengarkan informasi tentang itu, karena dia memiliki posisi penting, yaitu salah satu anggota yang melakukan pemeriksaan (razia).
Dalam tatanan masyarakat juga demikian, apabila memiliki posisi penting maka akan dihormati walaupun banyak hal-hal yang dilakukan tidak sesuai dengan aturan tertulis masyarakat. Contohnya, keturunan kyai (bukan kyai) atau kerabat kyai yang masyur di wilayah tersebut, maka akan dihormati oleh masyarakat sekitar walaupun bukan ahli agama bahkan melanggar aturan agama akan tetap memiliki kehormatan seperti kyai sebelumnya. Memang masyarakat menghormati keturunannya atas faktor kelebihan orang tua atau kerabat sebelumnya, tapi sangat berlebihan apabila karena hal tersebut keturunan atau kerabat kyai seenaknya berbuat, seakan-akan memiliki discount dosa dari Allah atas perbuatannya. Karena hal tersebutlah, banyak orang-orang mengejar posisi penting sebagai orang terdekat kyai (seperti menantu, besan, atau orang terpenting dikalangan kyai) untuk mencapai kehormatan tinggi sebagaimana keturunan kyai pada umumnya. (naudzubillahi min dzalik)
Banyak cara mendapatkan posisi penting untuk mendapatkan sebuah keinginan individual dan merugikan masyarakat banyak, khususnya dalam dunia pendidikan instan yang marak digemari di Indonesia. Semisal adanya kampus cabang yang berada di tempat-tempat terpencil dengan melakukan perkuliahan dua tahun dan durasi pertemuan satu minggu sekali untuk mendapatkan gelar strata satu (S1). Memang menguntungkan bagi pelaksana dan peserta didik dilembaga dadakan tersebut, tapi apakah kualitas sumber daya manusianya memenuhi standart pendidikan saat ini? Karena yang lebih fatal adalah saat mereka terjun dalam dunia pendidikan sebagai pendidik atau guru nantinya, seorang guru yang lahir dari proses instan tidak menutup kemungkinan keberadaan mereka sebagai guru hanya proses pencapaian kesejahteraan pribadi saja, sehingga peserta didik di Indonesia lahir dari pendidik yang serba instan. Adanya media penjualan ijazah juga sangat berbahaya dalam pengembangan pendidikan di Indonesia, itulah wajah pendidikan di Indonesia.
Sebagai hamba yang mengabdi kepada sang Maha bijak yaitu Allah SWT. seharusnya mensyukuri posisi penting tersebut dengan menjadikan Allah sebagai pendamping dalam menjalani amanah dan tujuan yang utama dalam menjalankan keberadaan sebagai penempat posisi penting hanya karena pencapaian kesempurnaan kepada Allah bukan atas hawa nafsu yang menjadi simbol kelemahan manusia.
Maka, ungkapan inna lillahi wa inna ilaihi roji’un penulis haturkan kepada pemimpin Indonesia terpilih melalui “suara terbanyak manusia” di negara ini.



Ulama Panutan

Pada masa sejarah, khususnya sejarah dalam dunia Islam
Seorang Nabi, Sahabat dan Ulama-Ulama (di Indonesia dikenal dengan Kyai) menjadi panutan setiap kehidupan, mulai berpakaian, berkomunikasi, beribadah serta berdagang pun menjadikan para tokoh tersebut (Nabi, Sahabat dan Ulama) sebagai uswah/tauladan. Semakin maju suatu bangsa, budaya positif tersebut berangsur-angsur menghilang, sehingga bukan tokoh agama lagi yang menjadi panutan masyarakat dalam menjalani kehidupannya tapi orang-orang yang dapat membuat kepuasan tersendiri, diantaranya para pemusik, artis, aktor dan beberapa tokoh yang tidak dalam kaitannya pada agama atau tokoh umum. Memang Nabi dan Sahabat sudah tidak ada, tapi para pewarisnya masih ada sebagaimana sebuah ungkapan ‘Ulama warosatul anbiya’ (Ulama pewaris para Nabi), kenapa hal tersebut terjadi?
Banyak penyebab dari permasalahan tersebut, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap Ulama saat ini tidak dapat dipungkiri lagi. Beberapa puluh tahun sebelumnya masyarakat sangat berpegang sekali dengan Ulama, setiap gerak dalam bermuamalah dan beribadah tidak lepas dari fatwa atau teladan yang pernah didapat dari Ulama, walau mereka bukan termasuk santri atau murid dari Ulama yang dijadikan panutan oleh mereka. Sekarang menjadi terbalik 160 derajat, Ulama hanya sebagai bahan pembicaraan saja, mulai dari pembicaraan politik, hukum pidana, bisnis, ekonomi dan entertainment, seharusnya Ulama masuk dalam kajian hukum Islam dan minimal dalam ranah pendidikan. Beberapa kasus menimpa nama baik Ulama akibat kurangnya pemahaman masyarakat, Ulama dianggap sebagai “maha benar”, Ulama dianggap “tangan tuhan”, Ulama dianggap “tanpa dosa” dan Ulama dianggap “pemimpin agama”, seharusnya semua orang menganggap Ulama adalah manusia biasa yang memiliki kelebihan tentang keilmuan agama dari beberapa manusia lainnya. Sehingga, apabila ada permasalahan dengan Ulama seperti seorang pemimpin pondok pesantren di Malang diduga memperkosa kedua santrinya, keterlibatan Ulama di politik (sangat ditentang oleh masyarakat di kalimantan), ketidak konsistenan MUI (Majelis Ulama Indonesia) melarang/mengharamkan rokok tapi banyak Ulama yang menentang pengharaman merokok, kasus poligami terhadap beberapa Ulama (padahal jaman Nabi sudah ada dan alasannya pun sudah jelas) dan banyak hal-hal lagi yang membuat ketidaktertarikan masyarakat terhadap Ulama itu adalah hal biasa dan wajar terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Karena dosa dapat dirasakan oleh siapa saja dan pahala dapat dimiliki oleh siapa saja, sehingga ulama atau kyai bukan manusia suci yang terlahir di dunia, tapi mereka sama seperti manusia lainnya yang tidak lepas dari kesalahan lahir dan bathin seperti manusia lainnya.
Namun ada hal penting yang perlu dijadikan panutan dari para ulama atau Kyai, yaitu dalam menjalankan beberapa perbuatan, mereka tidak jarang menjadikan perintah dan larangan Allah sebagai filter atau pertimbangan dalam menjalankannya, walau tidak sedikit ulama yang bertentangan akibat memahami perintah dan larangan tersebut. Pada saat ini, Ulama sudah tidak sepenuhnya menjadi contoh dalam bermasyarakat mulai dari berpakaian, berbuat dan beribadah.
Masyarakat sudah banyak menjadikan tokoh-tokoh selain Ulama sebagai contoh atau panutan, padahal tokoh-tokoh tersebut bukan pelaksana syariat agama, bahkan sebaliknya atau melanggar syariat agama. Ulama hanya dijadikan pelaksana agama oleh masyarakat, padahal apabila kita memahami kalimat ‘ulama warosatul anbiya (Ulama pewaris para Nabi), maka Nabi Muhammad adalah ahli politik, ahli peperangan, ahli hukum agama, ahli dagang/bisnis dan ahli dakwah. Jadi, Ulama tidak salah dalam menentukan putusannya sebagai seorang politikus, prajurit/komandan perang, pengasuh pondok pesantren, wira usaha, pendidik dan penceramah, karena hal-hal itulah yang dilaksanakan Nabi Muhammad pada masa itu. Sebagai umat Nabi Muhammad, maka dituntut untuk menjadikan Ulama sebagai panutan dan sebagai manusia yang tidak lepas dari kebodohan, kita diwajibkan menuntut ilmu sebagai bahan dalam menjalankan perintah dan larangan Allah. Apabila kita memiliki bahan/ilmu, maka dapat meminimalisir kesalahan dalam menjadikan Ulama sebagai panutan.
(Tulisan ini kupersembahkan kepada Alm. KH. Achmad Taufiqurrahman Fattah yang wafat pada tgl 13 juli 2009, semoga mendapatkan ridlo Allah SWT.)



Pemimpin Tidak Selalu Benar

Dalam beberapa jam lagi pemilu presiden akan dilaksanakan serentak seluruh Indonesia, para calon dituntut untuk mempersiapkan mental kalah dalam bersaing menuju istana kepresidenan, jangan hanya mengedepankan ego sebagai juara saja tapi harus mempersiapkan ego menerima kekalahan. Memang tidak menutup kemungkinan akan terjadi kontra atas hasil pemilu nanti, karena sudah tampak pada saat pra pemilu atau dalam beberapa hari ini. Berbagai argumen yang dikeluarkan sebagai respon ketidaksiapan mental dalam bertanding sangat tampak walau masih ada upaya untuk menutup dengan bertopengkan kepentingan rakyat. Sebagai rakyat jelata, hanya sebuah ungkapan harapan kepada presiden terpilih agar dapat menikmati kemerdekaan sesungguhnya, merdeka dari kebodohan, merdeka dari kemiskinan, merdeka dari hegemoni aturan-aturan yang tidak jelas dan merdeka dari kepentingan luar negeri yang tidak memihak kepada anak bangsa.

Dalam kampanye mereka yang menggema, masih banyak kekhawatiran dalam diri masyarakat yang tidak dapat dihilangkan. Kubu Megawati Prabowo (megapro) mengatakan, apa yang dia lakukan adalah untuk rakyat dengan menyuarakan ekonomi kerakyatan, namun timbul dalam benak masyarakat indonesia, apakah dengan menjual saham indosat dan pelepasan beberapa pulau pada masa jabatannya adalah kepentingan rakyat? Kebijakan Prabowo pada tragedi Mei 1998 adalah upaya pembelaan atas rakyat? Itulah yang saat ini yang menjadikan rakyat selalu merasa kekhawatiran.

Kubu SBY Budiono juga tidak kalah dalam berargumen, mereka menyatakan bahwa kebijakan dalam periode SBY adalah upaya untuk mensejahterakan rakyat menengah kebawah maupun menengah keatas, namun timbul lagi pertanyaan masyarakat, kenapa upaya mensejahterakan rakyat pada pendekatan pilpres saja (2008-2009)? seperti kebijakan gaji guru, BLT dan lain-lain. Sehingga, dengan optimisnya SBY Budiono menyuarakan satu kata, yaitu LANJUTKAN !!!. Penilaian Yusuf Kalla dan Wiranto lain, mereka menyatakan bahwa kebijakan SBY terlambat atau memang sengaja diperlambat agar tepat waktu menghadapi pilgub dan pilpres, kebijakan SBY pun dianggap terlalu berpihak ke Asing atau investor yang dalam hal itu kurang memihak kepada Rakyat Indonesia. Sehingga Yusuf Kalla Wiranto gencar mendengungkan produksi dalam negeri dan fokus kebijakan harus cepat dan lebih baik sebagai langkah perlawanan kepada kebijakan SBY selama ini.

Walaupun demikian, masyarakat tidak langsung percaya dengan kampanye Yusuf Kalla Wiranto, karena sebelumnya Yusuf Kalla adalah wakil presiden SBY, jadi pertanyaan masyarakat selama ini, kenapa niatan baik Yusuf Kalla untuk mengedepankan produk dalam negeri dan melakukan kebijakan lebih cepat tidak dilaksanakan pada saat dia menjabat jadi wakil presiden? Padahal berjuang untuk Rakyat tidak harus duduk jadi presiden, tapi kapan pun?

Dalam postingan ini, tidak ada maksud untuk menyalahkan semua calon presiden, tapi harapan penulis kedepan, kalau melakukan kampanye tidak usah harus saling menjelekkan satu sama lain, karena penilaian masyarakat pada umumnya para calon juga memiliki banyak kelemahan yang harus dijadikan renungan dalam memimpin indonesia kedepan. Kedepankan visis dan misi untuk Indonesia lebih baik adalah sikap seorang calon presiden yang kompetitif dan bukan munafik. Hanya karena bersaing untuk mendapatkan kursi presiden saja, salah seorang presiden berat untuk mengajukan tangan untuk bersalaman dan yang lebih aneh lagi, untuk senyum sedikitpun tampak berat sekali. Apakah itu sikap seorang pemimpin? yang keberadaannya tidak hanya melakukan kebijakan saja, tapi sebagai panutan seluruh elemen masyarakat.

 

Total Pageviews

Shop Online Ku

Shop Online Ku
Shop Online Recommended